count down

Acasha Adair
3 min readOct 23, 2023

1

Kupesan satu teh lemon hangat untuk menemani kesendirian sembari membaca buku mempersiapkan ujian. Aku memotret sarapanku, menyimpannya lamat-lamat di antara tumpukan gambarmu yang kuambil diam-diam entah sejak kapan. Di depanku hanya ada dinding putih dengan foto Michael Jackson. Di kanan hanya ada tanaman rambat dan lumut yang kian hari menipis sebab Yogyakarta tidak lagi basah. Aku melihat sekeliling, ah, kafe ini terlalu sepi untukku.

Aku masih memandangi foto menu sarapan yang kuambil beberapa saat yang lalu. Perlahan menggesernya ke kiri hingga menjumpai fotomu. Yang baru saja kuambil semalam, tiga hari lalu, hingga saat pertama kali kita keluar bersama.

Ponselku berdering. Aku membukanya dan yang kutemukan adalah namamu.

“Halo?”

Seperti sebelumnya — meski juga terhitung baru-baru ini kamu mulai menghubungiku lewat telfon — kamu memulainya dengan suara khas orang baru bangun tidur. Aku bertanya “ada apa?” Sebab kurasa kita tak seakrab itu untuk bercakap lewat telfon. Tapi kamu tetap bercerita bagaimana tidurmu, apa hal yang ingin kamu lakukan, dan terakhir bertanya bagaimana aku akan menghabiskan waktu di akhir pekan.

Aku tidak mengerti. Kemana arah percakapan kita.

2

Aku melanjutkan tulisan ini di sela waktu istirahat seusai aku berolahraga. Pagi tadi, aku membaca pesan yang kamu kirim. Hanya ada dua pesan, hanya kabar darimu. Selamat ya, aku ikut senang. Maaf karena kupilih untuk mengabaikannya.

Aku teringat pada pagi pukul 2 tadi, ketika membaca beberapa tulisan dari penulis favoritku di medium, segera setelah aku bangun. Aneh, tapi ini upayaku untuk mendefinisikan apa yang aku rasa dan apa yang ingin aku tulis. Aku menggulirkan jari untuk mencari judul tulisan yang kurasa tepat.

Happy enough ending

Menarik. Itu tulisan tentang penulis yang berusaha menyudahi sebuah cerita. Tidak ada kisah yang benar-benar berakhir bahagia, karena yang ada hanyalah “cukup bahagia”. Sebuah kisah harus diakhiri pada titik tertentu, pada momen tertentu agar tetap indah, atau mungkin harus diakhiri karena sudah cukup indah? Entahlah, yang jelas, kita kadang terlena dengan akhir bahagia dan kurasa tak pernah mau repot memikirkan hari setelah akhir bahagia itu. Masih ada hari selanjutnya setelah akhir bahagia, bukan? Lalu apa? Bagaimana menghadapinya?

Pada pukul 4 lebih 20 menit, sempat terlintas di benakku hasil pembicaraan dengan temanku, si Cantik. Pembicaraan pukul 5 sore kemarin, mengarahkanku pada kesimpulan,

Should i take back what i offered?

Karena sepertinya, kamu selalu sibuk menyelamatkan dirimu sendiri. Sepertinya, apapun yang kamu lakukan, tidak pernah memikirkanku sama sekali. Sepertinya memang harus kuambil kembali segala hal yang sudah kuberikan. Aku juga ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku juga, pada akhirnya memilih untuk berhenti memberi kesempatan yang tidak pernah mau kamu ambil.

3

Aku melanjutkan tulisan ini pada pukul 10 pagi. Tepat ketika aku selesai membereskan kamar dan mengambil laundry. Kubuka aplikasi pesan hijau itu dan kubaca ulang pesanmu pagi ini. Kurasa kamu mulai luluh. Namun kurasa aku mulai lelah. Ini memang belum lama, tapi aku masih tidak mengerti kemana arah kita berjalan.

I should take it back

Maka final sudah keputusanku untuk tidak lagi memberimu kesempatan.

4

Aku lelah. Tugas yang tiada henti bertambah, satu ujian yang mengerikan, tumpukan kertas kerjaku, dan kamu. Baik, seharusnya kamu sudah kusingkirkan.

Belum sepenuhnya. Entah kenapa aku merasa ingin memberimu lebih banyak kesempatan. Mungkin karena aku mengerti bahwa sebenarnya kamu mampu. Mungkin ada banyak harapan dariku. Mungkin.

Akan kusingkirkan kamu. Pasti.

--

--